Kamis, 31 Januari 2013

Ada kalanya kegamangan ini membenarkan keadaan

Makin lama saya merasa bahwa saya makin jauh dari kawan-kawan.

Saya merasa timbul jarak yang dahulu tidak kerasa.

Saya merasa bahwa teman-teman kampus diam-diam menyerang saya. Mereka tidak mau berterus terang tapi mengecam dari belakang. Saya tidak mau perduli disini, mungkin saya sombong karena kejujuran saya yang saya berikan kepada mereka, rasanya dibalas dengan gosip.

Yang membuat saya sedih adalah mereka tidak mau berterus terang.

Saya melihat ini semua sebagai "pemberontakan internal".

Ada saatnya saya harus muncul, dan kini saatnya saya harus mundur.

Yang membuat saya merasa "sendiri" sekarang adalah bahwa saya makin tidak dimengerti oleh kawan-kawan.

Tapi saya tidak bisa mengubah kepribadian saya. Saya tidak mau merubah pendirian-pendirian saya selama saya merasa bahwa pendirian saya benar. Dan saya tidak mau menjadi manusia massal.

Barangkali orang-orang seperti saya hanya bisa muncul pada saat-saat krisis.

Kadang saya takut memikirkan masa depan.

Saya mencoba mengadakan introspeksi pada diri saya sendiri. Tidak ada perasaan sedih, tidak ada perasaan menyesal.

Mungkin juga semuanya ini semacam tanda bahwa dunia saya telah berlainan.

Senin, 21 Januari 2013

Mencoba Merayu VIII

Matamu adalah telaga. 
Kala menatapnya, rindu berteriak, 
dengungnya akan terasa; 
menghujamkan dada dengan kesedihan.

Tiba-tiba aku di udara. 
Menjadi balon penuh warna, 
lalu pecah 
ketika tajam kata-katamu menyentuh dengan sengaja.

Di balik dadaku, kau pecah jadi seribu. 
Kadang meleleh jadi tangis rindu, 
di lain hari menghujam bagai sembilu.

Meski meluluhkan hatimu adalah sekeras memecah batu, 
seperti belajar dari air, 
cintaku akan terus menetes di hatimu.

Tangkupkan tanganmu pada getir sajakku, 
dan kau akan tahu kenapa aku setia merawat kepedihanku.

Jumat, 11 Januari 2013

Sebuah dini hari yang sunyi

Ada suatu pagi, dimana pagi pun masih terlalu gelap, diriku masih terjaga di depan layar monitor dan menatap ke arah dunia luar, lalu tetiba tanpa sadar aku mengetikkan pesan kepada dirinya, dirinya yang dulu aku lupakan, yang aku biarkan untuk terdiam disudut khayalan karena aku sudah menyerah kepada takdir. Hina dina menyelimuti hati karena jemariku terus menerus mengetikkan pesan kepadanya, ah kubiarkan saja angin yang menyapa dirinya terlebih dahulu, bukankah aku sudah menyerah kepada takdir? Namun ternyata dirinya membalas pesan tersebut, kami pun mengobrol, hanya saja untuk 2 kali percakapan dan dia sudah off, aih nona manis, saya masih senyum-senyum sendiri di depan komputer semenjak percakapan tersebut.